-->

Wednesday, December 28, 2011

Najis dan Cara Menyucikan Najis

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]

Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci

Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3] Menyatakan sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan butuh dalil.[4]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia

Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”[5]

Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis, kotoran, batu, duri, dsb.[6] Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran manusia.[7] Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran manusia.[8]

Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,

“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]

Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
3,4 – Madzi dan Wadi

Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.

Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]

Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]

Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[13]
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16]. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]

Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.

6 – Darah haidh

Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.” [18]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum asalnya.[21]

8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin ‘Abbas,
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :

a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [23]

b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]

c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata,
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” [25]
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan bagaimana cara membersihkan najis. Berikut pembahasannya

Cara Membersihkan Najis
1 – Menyucikan kulit bangkai[26] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah suci.”[27]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa suci dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan), maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[28] Inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[29] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci (najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi. Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja. Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas. Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[30]

2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[31]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [32]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah, mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa riwayat. Ada riwayat yang menyebut “سَبْع مَرَّات”, yaitu tujuh kali. Ada riwayat lain menyebut “سَبْع مَرَّات أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ”, yaitu yang terakhir atau pertamanya. Ada riwayat menyebut, “سَبْع مَرَّات السَّابِعَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh dengan tanah.Ada yang menyebut, “سَبْع مَرَّات وَعَفِّرُوهُ الثَّامِنَة بِالتُّرَابِ”, yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu a’lam. ”[33]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud “pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada bejana yang dijilat anjing.[34]

3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata,
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu cucilah[35]. Kemudian shalatlah dengannya.”[36]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah membahayakanmu.”[37]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[38]. Dalilnya adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab, “Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr (sejenis tanaman)”.”[39]

4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[40]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam Ahmad[41] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi. Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[42]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu Hanifah rahimahullah.[43]

5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci, sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”[44]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja yang berbeda.[45]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[46]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali. Karena seandainya kita katakan demikian, bayi ketika awal-awal lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan, pen).”[47]

6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,
“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena madzi’.” [48]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang ringan, sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.”[49]
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.

7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan shalatlah dengan keduanya.”[50]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[51]. Hadits ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis (ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang kering. Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut. Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.”[52]

8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air. Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan bukan untuk mempersulit”.” [53]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya, maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau berkata,
“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.”[54]
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air, tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari Imam Asy Syafi’i[55], pendapat Ibnu Hazm[56], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[57] dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin[58] bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain, maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah. Begitu pula membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah kami sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis tersebut sudah dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka, maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.[59]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika illah (sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan keduanya.”[60]


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H
[2] Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H
[4] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5] HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9] HR. Muslim no. 284
[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[14] Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)
[15] Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia) dan bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[16] Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al An’am ayat 145.
[17] HR. Ibnu Khuzaimah no. 70
[18] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[19] Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.
[20] HR. Muslim no. 279
[21] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[22] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73.
[23] HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[24] HR. Bukhari no. 5782
[25] Lihat Shohih Bukhari pada Bab ‘Benda najis yang jatuh pada minyak dan air’.
[26] Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.
[27] HR. An Nasa’i no. 4241, At Tirmidzi no. 1728, Ibnu Majah no. 3609, Ad Darimi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir wa Ziyadatuhu no. 4476 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[28] Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat ulama. Ada sebagian ulama yang menganggap bahwa hewan yang haram sekali pun jika kulitnya disamak tetap menjadikan kulitnya suci. Mereka berdalil dengan keumuman hadits tentang kulit yang disamak. Namun pendapat yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin itulah yang lebih tepat, sebagaimana alasan yang beliau sebutkan di atas.
[29] Serigala adalah hewan yang haram dimakan karena termasuk hewan buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
[30] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 1/159, Madarul Wathon Lin Nasyr, cetakan pertama, tahun 1425 H.[31] Adapun mengenai najis pada anjing terdapat tiga pendapat di kalangan para ulama :
Pertama, seluruh tubuhnya najis bahkan termasuk bulu (rambutnya). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua riwayat (pendapat) Imam Ahmad.
Kedua, anjing itu suci termasuk pula air liurnya. Inilah pendapat yang masyhur dari Imam Malik.
Ketiga, air liurnya itu najis dan bulunya itu suci. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan pendapat lain dari Imam Ahmad.
Yang terkuat adalah pendapat ketiga sebagaimana pernah kami terangkan pada tulisan sebelumnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H)
[32] HR. Muslim no. 279
[33] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/185, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[34] Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/95.
[35] Makna cuci (al ghuslu) di sini sebagaimana diterangkan oleh Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalaali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/219.
[36] HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[37] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/84, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[39] HR. Abu Daud no. 363, An Nasai no. 292, 395, dan Ahmad (6/355). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[40] HR. Abu Daud no. 383, Tirmidzi no. 143, dan Ibnu Majah no. 531. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[41] Al Atsrom pernah mendengar Ahmad bin Hambal ditanya mengenai hadits Ummu Salamah “tanah berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya”. Beliau rahimahullah menjawab, “Menurutku wanita tersebut bukanlah terkena kencing, lalu disucikan dengan tanah selanjutnya. Akan tetapi, ia melewati tempat yang kotor (bukan najis yang basah, pen) kemudian ia melewati tempat yang lebih suci, lalu tempat tersebut menyucikan najis sebelumnya.” (Lihat Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 1/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H)
[42] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdurrahman Al Mubarakfuri, 1/372, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[43] Idem.
[44] HR. Abu Daud no. 376 dan An Nasa’i no. 304. Syaikh Al Albani dalam Al Jami Ash Shogir wa Ziyadatuhu mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[45] Lihat Tawdhihul Ahkam, Syaikh Ali Basam, 1/176-177, Darul Atsar
[46] HR. Bukhari no. 5693 dan Muslim no. 287.
[47] Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/214.
[48] HR. Abu Daud no. 210, Tirmidzi no. 115, dan Ibnu Majah no. 506. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[49] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani, 1/35, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[50] HR. Abu Daud no. 650. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud bahwa hadits ini shohih.
[51] Dengan catatan, shalat dengan sandal boleh dilakukan jika memungkinkan disesuaikan dengan kondisi tempat shalat. Jika zaman sekarang ini, masjid dilengkapi dengan lantai keramik, maka sudah seharusnya tidak menggunakan sendal di dalam masjid. Sunnah ini bisa dilakukan ketika di luar masjid seperti ketika bersafar.
[52] Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/137, Maktabah Musthofa, cetakan keempat, tahun 1379.
[53] HR. Bukhari no. 220
[54] HR. Bukhari no. 174
[55] Lihat penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86.
[56] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 1/92, Mawqi’ Ya’sub.
[57] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/475, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[58] Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, hal. 176.
[59] Lihat penjelasan dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/86-87.
[60] Majmu’ Al Fatawa, 21/475.
www.mediamuslim.org

0 comments:

Post a Comment

Template by:
Free Blog Templates